“Saya ingin kalian jauh lebih maju dibanding saya, saya ingin kalian maju dengan penelitian kalian. Karena sebenarnya penelitian kalian bisa dijadikan ladang penghasilan buat kalian sendiri, bukan malah berhenti sampai di draft skripsi yg ditandatangani penguji.” -Drs. Sunarya Wargasasmita
Jlebph!
Kata-kata itu saya dapat dari note Teni yang bercerita tentang kenangannya bersama alm. Pak Narya, salah satu dosen terbaik di Biologi UI yang berdedikasi tinggi. Saya benar-benar tertohok. “Gue banget, tuh!” dalam hati saya. Lalu, saya teringat obrolan dengan pembimbing saya dari LIPI, Dr. Hari Sutrisno. Terhitung dua kali Pak Hari bertanya tentang apa yang akan saya lakukan setelah lulus. Pertama, saat meminta tanda tangan beliau untuk draft Usulan Penelitian saya.
“IP kamu berapa? Udah 4?” tanyanya.
(syok! Seumur2 saya nggak pernah mimpi punya IP 4)
“Belum, pak.” saya jawab singkat dan cepat. (dan sepertinya tidak akan. Bukan pesimis, cuma realistis aja, hoho)
“Kamu nggak mau jadi dosen?”
“Nggak, Pak.”
“Terus, mau jadi apa?”
“Penulis. Hehe…”
Saat itu, saya agak tak enak menyampaikannya. Karena saya sadar, saya ingin menjadi penulis, tapi bukan penulis karya ilmiah atau sesuatu berbau biologi. Atau tepatnya, belum terpikir ke arah sana.
Lalu, saat saya meminta tanda tangan Pak Hari untuk draft Hasil Penelitian saya, beliau kembali bertanya, “Nanti kamu setelah lulus mau ngapain?”
“Saya mau nulis aja, Pak.” jawab saya. Kali ini lebih mantab.
“Nulis? Nulis apa? Udah menghasilkan buku?” tanya bapak. Rentetan pertanyaan itu seolah ingin meyakinkan pilihan saya tersebut. Dan akhirnya saya mengerti arah pembicaraan Bapak setelah beliau bertanya satu hal.
“Kamu nggak mau jadi peneliti?”
Ah, sejujurnya itu pertanyaan berat buat saya. Dulu, saat harapan (ayah) saya untuk menjadi dokter hewan kandas di ujung jalan karena saya diterima sebagai mahasiswa jurusan biologi, saya berpikir bahwa akan menjadi seorang peneliti saja. Scientist. Terdengar keren, bukan? Awalnya saja begitu. Tapi kemudian, seiring dengan perjalanan kuliah saya (yang begitu PANJANG dan berliku, hadeuh!), keinginan itu pun luntur juga. Sebenarnya tidak serta merta hilang, hanya saya merasa yang paling memungkinkan untuk bisa meraih mimpi itu adalah dengan bergabung di LIPI (sedangkan saya belum berminat menjadi PNS, meski ingin sekali menjadi bagian dari keluarga Lab Entomologi PusLit Biologi LIPI, hehe).
Dan sepertinya Pak Hari memang ingin bertanya ke arah sana. LIPI butuh penerus. Scientist muda yang bersemangat menguak ilmu pengetahuan yang belum tergali. Atau tak harus ke LIPI, tapi tetap concern untuk meneliti. Bukannya malah berhenti berkarya, seperti kutipan nasihat Pak Narya di awal tulisan ini. Atau minimal seperti yang diingatkan Kak Mawan, pengajar BTA LA, pada saya suatu hari. Bahwa jangan sampai ilmu yang kita peroleh mengendap atau mungkin menguap begitu saja. Jadi, meski nantinya menjadi penulis yang tidak berkaitan dengan biologi, harapannya saya tetap menyalurkan ilmu yang saya dapatkan, dengan menjadi guru, misalnya. (Ah, sebenarnya saya masih kurang PD jika menjadi guru).
Entahlah. Saya sepertinya sudah susah diarahkan untuk meneruskan mimpi2 yang sesuai dengan Core Competance saya. Maka, saya hanya bisa terkagum2 dengan orang2 yang setelah lulus bisa mendapat pekerjaan sesuai CC-nya. Meski begitu, saya tak pernah menyalahkan mereka yang kemudian pindah jalur (bekerja di luar bidang biologi). Mungkin, bakatnya memang bukan di bidang biologi. Bukankah setiap orang punya hak untuk bermimpi dan mewujudkan mimpinya, apapun itu? Dan yang terpenting, apapun profesi yang digeluti, pastikan hal tersebut bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Dan Pak Hari pun mengingatkan hal ini saat sidang kelulusan saya. “Jadilah orang yang bermanfaat!”
LA 35,
28 Desember 2010